Daftar Progam HAQIN

Faiza, Tekan Tombol Ikhlasnya!



“Menjadi penghafal Qur’an itu bukan masalah cerdas atau tidak melainkan niat tulus dan istiqomah yang harus terus dipupuk, disiram dan dijaga.”

Aku Faizatuzzahra Ahdati, mahasiswi semester akhir jurusan Pendidikan Agama Islam disalah satu universitas di Kota Jogja. Sedari kecil belajar di sekolah umum, minim sekali bekal ilmu agama. Karena itu aku ingin sekali mondok. Ikhtiar awalku adalah menjadi santri kalong di salah satu pasantren tahfizh sambil kuliah.

Seiring berjalannya waktu, aku termotivasi untuk menghafal AlQur’an. Niatku ingin menjadi santri mukim dan berhenti menjadi kalong. Tekadku sedikit menciut mengingat posisiku sekarang adalah mahasiswa akhir semester akhir dan sudah menyusun skripsi. Akhirnya aku mengurungkan niat dan melanjutkan memikirkannya setelah wisuda kelulusan saja.

Allah Maha Baik, teman seasramaku memberikan informasi pendaftaran pondok tahfizh full beasiswa. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini, segera mendaftar dan mengikuti seleksi demi seleksi. Pada seleksi tahap akhir menghafal surat pilihan, Aku rela mengosongkan semua jadwal aktifitas perkuliahan dan bimbingan pada hari itu lalu mengasingkan diri ke sebuah masjid untuk menghafal.

Waktu pun berlalu, cukup lama Aku menunggu hasil seleksi tahap akhir, sampai aku berfikir “ah palingan gak lolos, makanya gak ada kabar”. Akupun mulai melupakan pendaftaran itu dan fokus pada aktifitas semester akhir yaitu skripsi yang penuh dengan revisi.

Tepat tanggal 1 Ramadan (5 Mei 2019) aku dikejutkan oleh sebuah pesan whatsapp “Bismillah. Assalamu'alaikum Warahmatullaah. Selamat, Akhi/Ukhti dinyatakan LULUS pada Program Karantina 6 Bulan Beasiswa Tahfizh Qur'an 30 Juz Angkatan 4." Antara percaya dan tidak, haru tak terkira bercampur galau antara jadwal masuk karantina dan banyaknya revisi skripsi yang bisa jadi mengancam cita-citaku untuk mondok. Aku menguatkan diri, bimbingan skripsi dan revisi kukejar semaksimal mungkin, tak jarang aku lembur sampai tertidur di aula asrama.

Saat itu tanggal 5 Mei 2019, jadwal masuk karantina adalah akhir bulan Juli, waktu tersisa kurang dari 3 bulan. Sedangkan Aku masih belum mengambil data penelitian lapangan. Kebetulan fokus penelitianku adalah sekolah. Saat itu sekolah sudah mendekati masa UAS sehingga banyak yang menolak untuk dilakukan penelitian, hal itu tentu mengancamku.

Aku tidak menyerah begitu saja, aku terus mencari sampai akhirnya Aku mendatangi sekolah tempat magangku dulu, meski harus menempuh jarak yang cukup jauh. Alhamdulillah mereka bersedia untuk menjadi tempatku melakukan penelitian. Selama Ramadan tak ada yang kukejar lebih keras kecuali penelitian, bimbingan dan revisi. Mudik lebaranpun aku membawa beban. Berhari-hari aku lalui didepan laptop, hampir tak pernah aku melewati malam kecuali dengan bergadang.

Alhamdulilah, akhir Juni skripsiku disetujui untuk sidang Munakosyah. Aku pun mendaftarkan diri. Qadarullah kondisi kampus sedang sibuk dengan akreditas, membuat mahasiswa yang sudah mendaftar sidang menjadi terlantar termasuk aku saat itu. Setelah menunggu 2 minggu, akhirnya aku bisa melaksanakan sidang. Setelah sidang aku masih harus melakukan revisi, namun aku jatuh sakit, revisi pun tertunda.

Empat hari sakit, dalam kondisi belum terlalu pulih aku bertekad untuk menyelesaikan revisi. Aku paksakan diri ke kampus dan setelah dikonsultasikan dengan dosen pembimbing, Alhamdulillah langsung disetujui. Aku bergegas mencetak skripsiku. Sisa waktu yang ada aku gunakan untuk mengurus persyaratan yudisium. Meski Aku harus merelakan wisudaku dan tes CPNS yang juga sudah di depan mata.

Jumat, 26 Juli 2019 (2 hari sebelum keberangkatan ke HAQIN), orang tua menjemputku ke Jogja membantu proses pindahan barang-barangku ke kampung. Sekejap saja, siang itu aku benar-benar meninggalkan Jogja tercinta tanpa disangka sebelumnya.

Allahu Akbar! hari yang kuperjuangkan. Ahad 28 Juli 2019 selepas sholat subuh Aku benar-benar berangkat menjemput cita-citaku, Aku berangkat ke Bandung dengan doa ridho Bapak dan Ibu yang mengantarku sampai stasiun Purbalingga.

Aku Faizzatuzzahra Ahdati, seorang keras kepala dan pantang menyerah. Menghafal AlQur’an ternyata lebih berat dari hari-hariku mengejar menyelesaikan skripsi. Target yang banyak, menghafal dengan dikejar-kejar oleh waktu, sakit kepala yang sering menghampiri karena otak dipaksa terus bekerja untuk menghafal seharian dan ditambah lagi suara yang gampang serak.

Aku ternyata mulai jenuh. Ummi di pondok menyadarkanku, beliau pernah berkata kepada kami para santri, “Nak dalam menghafal Al-Qur’an, jangan lupa untuk selalu menekan tombol ikhlas, itulah kuncinya”. Aku mencari tombol itu dalam hatiku yang diselimuti debu hitam, menghapusnya dan berusaha menekannya, halaman demi halaman AlQur’an mulai aku nikmati, dan aku setorkan satu persatu.

Hari ini Allah menghantarkan aku menunaikan janjiku, tepat pada tanggal 11 Januari 2020 dalam kurun waktu 46 hari aku menyelesaikan setoran hafalan. Rasa syukur tak henti-hentinya pada Allah SWT atas rahmat-NYA menghadirkan ayat demi ayat di dalam hatiku. Semoga Allah mengaruniakan keistiqomahan bersama Al-Qur’an hingga akhir hayatku.


Faizatuzzahara Ahdati, Al-Hafizhah