Daftar Progam HAQIN

Aku Tinggalkan Kuliah demi Meraih Hafizhah

Ilustrasi

Perjalanan Masuk Ma’had

Bulan Februari 2019, tepat usiaku menginjak 18 tahun. Saat itu aku masih duduk dikelas 3 Mu’allimien (SMA) semester genap. Saat dimana seluruh murid disibukkan dengan berbagai macam ujian sekolah dan mulai memikirkan masa depan masing-masing. Tidak sedikit yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, begitupun sebaliknya.

Hari demi hari dijalani, hingga sederet jadwal Ujian Nasional kulalui dengan perasaan campur aduk. Rasa khawatir setiap kali menghampiri akan hasil yang diperoleh nantinya, tapi kuserahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa yang memberi keputusan terbaik untuku.

Tiba saatnya pendaftaran masuk ke perguruan tinggi telah dibuka, kami semua disibukan untuk melakukan pendaftaran tersebut demi mewujudkan impiannya masing-masing. Begitu pula pada diriku yang sibuk menyiapkan untuk masuk PTN yang telah diimpikan sejak SMA kelas X.

Namun, disisi lain aku mempunyai impian untuk menjadi salah seorang yang berada diantara barisan para penghafal Al-Qur’an. Akhirnya aku memutuskan untuk mendaftar keduanya, yaitu daftar kuliah juga sekolah tahfizh. Salah seorang temanku mengajak untuk mengikuti tes seleksi pendaftaran di salah satu Ma’had Al-Qur’an di Bandung, yaitu HAQIN.

Qadarullah aku lolos tahap 1, namun tidak dengan temanku. Beberapa tahap penyeleksian pun terus aku lewati. Saking khawatirnya tidak akan lolos hingga tahap akhir, aku pun memutuskan untuk mendaftarkan diri kuliah di salah satu Universitas Islam Negeri di Bandung.

Hari pengumuman kelulusan kuliah pun tiba. Aku masukkan nomor peserta dan password pada kolom yang tersedia di handphone. Muncul warna hijau di layar hp-ku yang menandakan bahwa aku lolos masuk universitas tersebut. Senyum sumringah yang tersirat di wajah sang Ibu ketika beliau mengetahui kabar tersebut, aku pun bahagia akan pengumuman tersebut, itu artinya aku dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mengingat cita-citaku yang ingin melihat seorang ibu menyaksikan seorang putri sulungnya memakai toga sarjana kelak.

Beberapa hari kemudian, muncul notifikasi WhatsApp di layar hp-ku dari nomor yang tidak dikenal. Ternyata kontak tersebut milik HAQIN yang pernah aku ikuti seleksinya. Isi pesan tersebut mengabarkan bahwa aku lolos tahap akhir penyeleksian. Itu artinya aku telah termasuk bagian santri Ma’had tersebut. Lalu bagaimana dengan kuliahku? Disitulah galau mulai menghantuiku. Bimbang hati ini untuk mengambil salah satu dari dua keputusan tersebut.

Setiap waktu, baik usai sholat maupun diluar sholat, tiada henti mulut ini memohon kepada yang Maha Kuasa agar diberi petunjuk keputusan mana yang harus saya ambil. Seiring berjalannya waktu, entah apa yang aku pikirkan, hati ini lebih tergerak untuk menyiapkan segala macam persyaratan dari Ma’had HAQIN dibanding mengurusi perkuliahan. Mungkin itulah cara Allah Swt. menunjukkan kepadaku mana yang harus aku pilih dari kedua pilihan tersebut.

Di Asrama

Sebuah bangunan sederhana dilengkapi spanduk bertuliskan Asrama santriwati Hafizh Qur’an Indonesia. Itulah tempat yang akan kusinggahi beberapa bulan ke depan untuk berjuang bersama Al-Qu’ran. Kubuka gerbangnya, ketuk pintunya dalam keadaan sebuah koper dan beberapa totebag masih berada ditangan.

Terlihat seorang perempuan yang sedang duduk di hadapan laptop, kebetulan saat itu pintunya terbuka. Ia membukakan pintu garasi agar barang-barang aku disimpan disana. Tanpa banyak basa-basi aku langsung diantar ke sebuah masjid oleh salah seorang temannya.

Selamat Datang Calon Santri Angkatan 4 Hafizh Qur’an Indonesia”. Pandangan mata langsung tertuju pada poster tersebut yang terletak di sebelah meja registrasi. Tidak ramai orang di masjid tersebut melainkan pemuda-pemudi yang berpakaian rompi berwarna hijau lumut. Mereka adalah panitia penerimaan santri HAQIN angkatan 4. Kami menuju meja registrasi untuk melakukan registrasi ulang. Usai itu terucap dari mulut seorang penjaga meja registrasi tersebut “Hp-nya langsung dikumpulkan ya”.

Tanpa banyak basa-basi, dengan segera aku kumpulkan sebagai salah satu syarat bahwa selama masa karantina tidak diperkenankan menggunakan handphone. Ketika masuk kedalam masjid, aku maju ke depan menuju meja yang disitu pula ada seorang panitia Ma’had.

Tilawah Al-Qur’an

Itu yang pertama aku lakukan. Dilanjutkan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar tajwid yang terlontar dari panitia tersebut kemudian diakhiri dengan pertanyaan seputar kepribadian diri. Usai sudah menjawab semua pertanyaan itu, aku kembali ke belakang tirai masjid, disana masih ada ibu yang setia menunggu. Panitia lain mengantarkan kami kembali ke asrama. Begitu masuk asrama, terlihat banyak para orang tua santri sang berkumpul.

Santri langsung aja naik ke lantai atas, ya” itu yang di ucapkan oleh salah seorang laki-laki muda berkacamata. Hampir semua santri sudah berkumpul disana. Ya. Aku datang telambat. Diam. Tak bersuara sedikitpun.

Tak lama kemudian ibu naik ke atas berniat untuk pamit pulang. “Teteh betah-betah disini ya, mamah pulang sekarang, jaga kesehatan, tak lupa selipkan do’a untuk mamah dan almarhum bapakmu di setiap usai sholatmu…” masih banyak lagi nasihat-nasihat yang terucap dari mulut beliau. “iya, mah.” Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku. Tetesan air mata pun keluar ketika melihat seorang ibu yang meninggalkan anak sulungnya di pondok. Berat rasanya, itu sudah pasti.

Beberapa hari kemudian setelah selesai pembagian asrama, hari-hari kami diisi dengan pembekalan sebelum masuk karantina. Kami mulai bertegur sapa sesama teman di asrama, tapi rasa canggung masih ada. Dua hari sebelum masuk karantina, kami melakukan perjalanan ke sebuah tempat yang tidak jauh jaraknya namun kita menempuh perjalanan tersebut sejauh kurang lebih 20 Km dengan berjalan kaki.

Waw. Perjalanan yang luar biasa yang pernah ku tempuh selama seumur hidup. Capek iya, pegal iya, sakit kaki sudah pasti, tersesat pun kami alami.  Hampir semua santri menggerutu selama pejalanan berlangsung dan ternyata itu semua merupakan gambaran untuk kelak ketika masuk karantina. Perlu kalian ketahui bahwa selama masa karantina tidak akan semulus apa yang kita pikirkan, pasti ada tantangan dan ujiannya masing-masing.

Fase Tilawah, Ziyadah dan Muraja’ah

Hari pertama KBM. Semangatnya masih full. Tilawah 40x pengulangan setiap halamannya. Setiap hari sebanyak 7 halaman yang harus diulang sebanyak 40x. Hari demi hari tilawahnya mulai lambat. Terkadang pukul 10 malam belum selesai bahkan pernah juga tidak mencapai target tilawahnya.

Akhirnya itu menjadi hutang tilawah bagi kami. Itu berarti tilawah kita di esok hari lebih banyak jumlahnya karena ditambah utang kemarin. Teringat pepatah sunda “hutang duit dibayar ku duit, hutang uyah dibayar ku uyah, hutang nyawa dibayar ku nyawa”. Begitu juga dengan hutang tilawah yang mesti dibayar dengan tilawah.

Seiring berjalannya waktu kita disini dapat mengendalikan diri kita masing-masing bagamanapun caranya. Tilawah 14 juz/hari harus tercapai. Berbagai godaan harus dilalui tanpa menghalangi tilawah kami. Ngantuk ditahan agar tidak tertidur, ketika futur melanda kita selalu mencari berbagai macam cara agar kembali semangat lagi. Dan yang paling penting itu niat kita yang harus dijaga selalu. Hingga masa Ziyadah pun tiba.

Hari pertama ziyadah, antre setoran. Masih belum ada beban karena punya tabungan hafalan yang masih dapat disetorkan pada hari itu. Di fase ziyadah ini ada tingkatan level bagi tiap orang. Aku bersyukur Allah telah memberikan kesempatan pada sebagai santri yang ditempatkan di level 3 yaitu ziyadah sambil muraja’ah. Setiap 2 hari ziyadah hari ke-3 di pakai muraja’ah hafalan kemarin. Begitu seterusnya.

Perlu diketahui juga bahwa muraja’ah itu tidak seindah dan tidak semudah yang kita bayangkan, tapi dengan usaha kita Allah pasti mudahkan, Insyaallah. Air mata selalu keluar ketika hari tasmi’ tiba. Tidak mencapai target tasmi? Ya. Putus asa? Pernah.

Tapi itu semua akan terasa nikmatnya setelah kita mempunyai pegangan hafalan yang Insyaallah bisa dipegang. Hingga tiba waktunya kalimat “minal jinnati wannaas” terucap dari mulutku sendiri didampingi ibu yang menyempatkan hadir di acara khataman. Rasanya terharu, bersyukur. Tidak menyangka bisa melangkah sejauh ini, dan perasaan campur aduk yang aku rasakan saat itu.

Terlihat seorang ibu yang tiada henti meneteskan airmata menyaksikan anaknya setoran hafalan genap 30 juz. Kupeluk beliau, cium beliau, tidak ingin lepas dari pelukan beliau. Teringat ucapan almarhum sang ayah yang selalu menanyakan mengenai hafalan Al-Qur’an, namun saat itu masih sedikit hafalan yang aku punya, dan sekarang ku persembahkan hafalan ini untukmu ayah, ibu.

Semoga dengan Al-Qur’an ini dapat mengangkat derajat kedua orang tuaku, menjadi syafaat kelak di akhirat. Dan harapan ku memakaikan mahkota dan jubah kemuliaan untuk orang tua dapat tercapai sebagai hadiah terakhir kelak di akhirat.

Mulkiyah Awaliyah, Al-Hafizhah