“Alhamdulillah, udah 6 halaman. Sana wudhu dulu, neng”, Mey berkata seraya beranjak menuju tangga depan dan kembali menghafal. Sedang Fatima bangkit ke kamar mandi dengan gontai dan tidak bersemangat, padahal dia termasuk yang amat cepat menghafalkan Al-Qur’an dibanding yang lain.
Di komplek Green
Valley ini asrama Kami termasuk beruntung, view depan asrama adalah
bukit pemukiman warga desa yang dibatasi oleh sungai kecil. Gemericik airnya indah
terdengar, sehingga tangga depan asrama adalah spot terfavorit untuk kami menghafalkan
Al-Qur’an, seperti yang dilakukan Mey saat ini
Aku Wafa, salah
seorang santriwati disini. Sore itu aku tengah menghafalkan Surat Thoha: 1 – 2,
Juz 16.
طٰهٰ
“Thaha”
مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لِتَشْقٰٓى
“Kami
tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah”
Aku teringat, ustadzah Kami pernah menyampaikan salah satu nasihatnya dengan ayat ini. Beliau bilang: “Sungguh Al-Qur’an ini tidak diturunkan untuk membuat kita kesusahan. Apabila kita hendak memahaminya, pasti kita akan dapati banyak sekali manfaat dan kemudahan yang justru datang menghampiri kita. Hafalkanlah! Sebab ini adalah surat cinta-Nya. Raihlah dengan khidmat, yakini bahwa Allah telah memilih kalian untuk menjadi penghafal Al-Qur’an, maka bersungguh-sungguhlah untuk membuktikan pada-Nya bahwa kita layak dipilih-Nya.”
Ayat ini
mengingatkanku pada masa ketika Aku merasa berat sekali menghafalkan Surat
Yusuf. Aku terus menangis, kenapa susah sekali menghafalkannya?
Di siang itu, Aku
duduk sendiri di balkon. bulir-bulir mengalir dari kedua bola mataku, “Hhh...
Wamaa ubarri-u nafsii, innannafsa... innannafsa” Aku tersedu-sedu, susah sekali
rasanya.
“Wafa, ada apa?”
tiba-tiba Ustadzah datang menghampiri.
“Susah, Ustadzah...
gak dapet-dapet... hhhh...”
Ustadzah
tersenyum dan berkata, “bersyukur, yuk. Wafa bisa bareng sama Qur’an lama-lama.
Pahalanya gak akan hilang, kok.”
“Tapi kan gak
sampai target, Ustadzah?”
“Biar Allah yang
menyampaikan target Wafa, ikhtiar dan ikhlas. Cari wasilah yang biasa dilakukan,
jadikan sebagai amal unggulan agar dimudahkan menghafal Al-Qur’an.”
“Wasilah apa
Ustadzah?”
“Ya, suatu amal seperti
Wafa suka beres-beres? Bisa! Allah suka kebersihan dan keindahan. Wafa suka
tahajud 11 rakaat? Bisa! Wafa suka infaq, sedekah, senyum, bantu teman,
traktir, atau apalagi? Pokoknya niatkan semuanya untuk kemudahan menghafal.
Semoga dengan niat itu, Allah mudahkan pula hajatnya.”
“Kalo sujud
syukur tiap abis setoran bisa, Ustadzah?”
“Boleh, amalan
apa saja yang Allah ridhoi.”
Ustadzah Nur yang
lembut tersenyum sambil menarik tanganku menuju ruang makan, dan bergabung
dengan teman-temanku. Aku terdiam dan berpikir sejenak sebelum menyuapkan nasi
ke mulutku. Amalan apa yang hendak Aku lakukan sebagai wasilah selain sujud
syukur ya?
“Waf, gimana Yusuf?” Fatima bertanya usil. Disusul oleh tawa Mey, Nada dan Ustadzah Nur.
Aku terkekeh, rasanya kok Aku malu sendiri sebab menangisi Surat Yusuf ini. Alhamdulillah, setelah melewatinya ternyata Aku bisa sampai pada Surat Thoha ini, Juz 16. Nyaris setengah perjalanan yang tak pernah Aku bayangkan sebelumnya, Aku bisa sampai di titik ini.
***
Malam hari saat
hujan lebat diluar, kopi hangat masih menemaniku dan beberapa teman yang lain
agar terjaga. Betapa tidak, cuaca malam itu membuat Kami ingin tidur dan segera
menarik selimut, sungguh nikmat! Tapi apa daya, target hafalan didepan mata.
Aku dan Mey bersandar dikaca jendela kamar Kami sambil mengulang-ngulang hafalan, berharap segera
lancar agar dapat di setorkan.
“Rrrrgghh…
grhh! guk! guk! guk!” suara anjing disamping Asrama Kami terus saja berulang,
ia menggeram dan menggonggong sepanjang waktu sejak dua hari lalu. Kiko namanya,
seperti nama jajanan SD, ya? Eh, tidak-tidak... cukup lucu saja, Kami akrab
dengannya. Biasanya, tiap pagi bulu-bulu Kiko berterbangan didepan asrama
lengkap dengan genangan air. Tandanya majikan Kiko sudah memandikannya. Kiko
adalah jenis anjing Beauceron yang memiliki bulu berwarna putih agak
kecoklatan. Lengkap dengan kalung dilehernya, seringkali cucu dari majikan si
Kiko mengajak Kiko bermain keluar setiap sore.
“Mey, kamu
tahu gak kalo si Kiko kenapa menggonggong terus?”
“Kayaknya dia
belum dikasih makan sama majikannya.”
“Ohh...
kasian amat, apa kita kasih makan dia, ya?”
“Emang
berani?” Akupun tertawa, mana berani kasih makan si Kiko. Akhirnya di
tengah hujan malam itu, Kami menghafal sambil ditemani simfoni gonggongan Kiko
tanpa henti.
Ustadzah
datang menghampiri Kami yang masih mengulang hafalan, beliau terlihat
mencari-cari sesuatu ke arah luar jendela, berujar “Berisik, ya... Itu Kiko keluar?”
“Waduh, dia
bisa keluar gitu. Bukannya dikunci, ya rumahnya?”, Kami semua menghampiri
jendela dan melihat ke arah luar.
“Ustadzah,
berisik si Kiko ini, susah dapatnya...” keluh Mey yang baru menyetorkan 6
halaman.
“Gapapa, semoga jadi wasilah, ya! Yuk, Ustadzah tunggu setoran sekali lagi. Setelah itu kita istirahat, ya.” Ustadzah menutup jendela dan mengarahkan Kami untuk kembali menghafal.
Hujan deras masih terus menemani Kami, lengkap dengan suara Kiko hingga Kami terlelap.
***
Sayup-sayup adzan awal terdengar oleh Fatima, ia bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Disusul oleh Mey, Nada dan Aku. Kami segera melaksanakan Qiyamul Lail, kali ini Fatima yang bertugas menjadi imam. Surat Thoha nampaknya tak hanya mengena bagiku, Fatima membaca surat itu sampai halaman kelima. Rasanya tidak ada yang paling indah selain melaksanakan sholat dan munajat pada-Nya. Tampak di jam-jam akhir menuju shubuh Nada berdoa dengan khusyuk, Kami tahu bahwa ayahnya telah lama sakit, pasalnya Nada tidak diperkenankan pulang oleh sang ayah sebelum ia menyelesaikan hafalannya. Aku tahu, rasanya pasti berat, sesak.
Tak terasa adzan shubuh berkumandang, Fatima segera mengambil sajadahnya dan mengajak Kami untuk bergegas ke masjid. Ya, setiap shubuh dan maghrib Kami rutin berjama’ah di masjid bersama warga sekitar. Alhamdulillah, Kami disambut amat baik oleh masyarakat.
“Ayo cepet,
yok keburu gak kebagian sholat fajar.”
Fatima
berlari, Aku menyusul dibelakangnya. Nada dan Mey masih menggunakan kaus kaki
dan bersegera mengikutiku. Tak sadar dengan jalan sekitar, ternyata Kiko
mengikuti Kami dari belakang, tapi ia segera berbalik arah saat Kami sampai di
belokan menuju Masjid. Saat itu, jadwal imam nya adalah Ust. Saheri, AlHafizh.
Ia adalah salah satu warga di Komplek yang memiliki suara merdu, biasanya
beliau akan membacakan surat yang sedang dimuraja’ah pada hari tersebut ketika
sedang mengimami shalat berjama’ah. Hanya dalam waktu satu pekan saja, beliau
selesai memuraja’ah hafalan 30 Juznya, MasyaAllah.
Setiap ba’da shubuh di hari Sabtu, ada kelas menghafal
untuk jama’ah laki-laki. Ustadz Saheri yang membimbing langsung, sehingga Kami
terpaksa segera kembali ke asrama setelah shalat berjama’ah selesai. Biasanya
Kami akan tetap tinggal di masjid sampai matahari terbit, atau minimal sampai
kami selesai merampungkan hafalan 1 halaman untuk di setorkan. Maka Sabtu
adalah jadwal yang mengharuskan kami untuk beranjak dari masjid lebih awal.
Nada berjalan
didepanku, Mey dan Fatima. Sambil mengambil ancang-ancang Nada berseru “Ayo
lari! kita olahraga dan balapan sampai asrama!” Tak kalah semangat Kami bertiga
segera menyusul Nada dan mengangkat mukena agar tidak kesusahan ketika berlari.
Kebetulan blok Asrama Kami sedikit menanjak, sehingga cukup kewalahan apabila
ditempuh sambil berlari.
“Ayo cepetan
biar gak gendut!” Fatima berseru kepadaku dan Mey yang masih dibawah, sedangkan
Nada sudah berada diatas, tepat didepan Asrama. Selang beberapa menit, Kami
semua sampai di depan Asrama dan tercengang melihat Kiko duduk tegap didepan
rumahnya dengan pagar yang terbuka.
“Kiko!
Masuk!” Nada berjalan menghampiri Kiko yang tengah terduduk dengan santai. Hal
itu dilakukan Nada karena setiap hari Kami sering mendengar perintah itu dari
majikannya. Barangkali, itu cukup ampuh membuat Kiko kembali ke rumahnya.
Aku yang
tidak berjalan maju karena takut, tiba-tiba melihat Kiko beranjak dari duduknya
yang tak jauh dari Nada. Fatima dan Mey di belakangku berbisik “Ituuu, Kiko
nyamperinnn.” Tapi Aku berusaha tenang, Nada yang tadi persis di depan Kami,
mundur teratur sejalan dengan langkah Kiko yang semakin mendekat.
“Grrrrhhhhh… ghrhhrh” Kiko menggeram, langkahnya semakin
cepat. Nada yang tadinya memimpin Kami sejurus berbalik arah dan langsung
berlari sekuat tenaga. Kiko berlari dan menggonggong sekuat-kuatnya.
Aku tak
memikirkan apa-apa lagi, Qur’an yang kupegang sekaligus mukena yang ku angkat
tak terasa lagi berada dimana, jalan yang menurun membuat Aku, Mey, dan Nada
berlari dengan sekencang-kencangnya. Rasanya tidak pernah Aku melompat sejauh
ini saking Aku takut Kiko berhasil mengejarku. Mey tepat di sisi kiriku, Nada
di sisi kananku, Kiko entah dimana namun suaranya amat dekat menggeram. Kakiku
tak terasa lagi getarannya dan Aku tak tahu apakah nyawaku masih bertahan atau
tidak. Aku hanya berpikir “Ya Allah, masa Aku mati konyol digigit anjing saat
Karantina?” pikiranku campur aduk, memikirkan Ayah, Ibu, Kakak dan Aku tak tahu
bagaimana bisa dalam proses menghafal ini Aku dikejar anjing shubuh-shubuh?
“Abaaah, Ibuu…”
Nada melompati satu petak rumah di belokan Masjid, jurus apa yang keluar
sampai-sampai ia bisa melompat sejauh itu?! Mey dengan teriakannya
memanggil-manggilku, sandalnya copot entah dibagian jalan mana, kakinya tak
terasa lagi menginjak bebatuan terjal karena jalan belum di aspal. Kami bertiga
saling menarik dan berebut tangan untuk segera menuju masjid.
Akhirnya,
setelah jantung berdegup kencang, Kiko tak lagi mengejar Kami karena posisi
Kami sudah berada di selasar Masjid. Rasanya Allah atur otomatis Kiko akan
pulang dengan sendirinya ketika Masjid ada dihadapannya. Bapak-bapak yang
tengah menghafal tiba-tiba terkaget karena mendapati Kami berlari kencang dan
ribut tersebab masih syok dengan peristiwa barusan.
“Ini ada
apa?” Beberapa orang keluar sambil menyanyakan apa yang terjadi pada Kami.
Dalam keadaan
masih ngos-ngosan, Kami tetiba ingat “Fatima manaa?!” Entah bagaimana ceritanya
Ia tak ada bersama Kami.
“Itu, Pak…
Hhhh, Hhh… Kikoo… Hhh...” Sambil mengatur napas, Mey mencoba menjelaskan.
“Hah? Kiko
yang anjing itu?”
“Iya Pak,
Kami dikejar. Temen Kami masih disana seorang lagi.” Nada menyampaikan dengan
tangis, ia khawatir ada sesuatu yang terjadi pada Fatima.
“Ohh...
pantesan ada pengumuman di grup Komplek kalo anjing itu berkeliaran, ya.”
Timpal salah seorang Bapak jama’ah masjid.
Tak lama,
Fatima berlari sambil menangis. Ia lupa sandalnya ada di mana. Mukanya tak
karuan dengan air mata. Benar-benar terlihat pucat pasi.
“Haaaaa…
Meyyyy” Segera Fatima menghampiri dan memeluk Kami. Tubuhnya bergetar dan penuh
dengan keringat.
“Kiko...
Haaa, Si Kiko!” Fatima masih belum bisa menjelaskan dengan tenang. Kami mencoba
menenangkannya.
“Pak, Kami
mau pulang ke asrama, tapi takut Kiko masih ada di luar. Pagarnya terbuka, Pak.
Majikannya gak ada dirumah.”
“Oh gitu, gak
dikasih makan, apa, ya?”
“Yaudah, Neng. Ayo Kami coba anter ya. Neng di belakang aja.”
Tiga orang
Bapak jama’ah masjid keluar dan membawa tongkat sapu, pel dan pembersih
genteng. Mereka semua berjalan didepan Kami berharap bisa melindungi dan
mengatasi Kiko. Tampak Bapak-bapak itu seperti superhero yang membawa
senjata andalannya. Sambil berjalan ketakutan, Mey mengambil sandalnya yang
tertinggal di jalan, akhirnya ia tak perlu beli sandal baru.
Sambil mengatur nafas, Fatima mencoba bercerita “Tadi Si
Kiko nyamperin Aku di rumah Mbak Dina, Aku jongkok di halaman rumahnya sambil
sembunyi tapi malah ketahuan dan disamperin tepat didepan mataku. Aku nangis
sejadi-jadinya tapi gak ada yang keluar dari rumah itu, Aku bilang ‘Kiko!
Astaghfirullah Kiko pulangg!’ sambil Aku tunjuk-tunjuk muka dia yang cuma
berjarak sekian senti. Aku takut banget Nad, dia di depan
mataku. Karena Aku teriak akhirnya rumah sebelah ada yang keluar, Pak Sholeh.
Dari rumahnya dia lemparin Kiko pake sepatu, ternyata sepatunya dimakan juga!
Ya Allah, alhamdulillah bukan Aku yang dimakannya. Akhirnya Aku disuruh lari ke
Masjid pas Kiko udah kabur ngejar sepatu itu.” Aku, Mey dan Nada terperangah
mendengar cerita Fatima, dugaan Kami benar bahwa dia tidak baik-baik saja
-dipikiran Kami Fatima digigit Kiko-.
“Neng, diem
dulu disini, ya. Kita mau cek dan kunci Kiko di rumahnya kalo masih
berkeliaran.” Selang beberapa menit, Kami dipanggil untuk segera kembali ke Asrama.
Kiko telah diamankan oleh Bapak-bapak jama’ah masjid di rumahnya. Ustadzah Kami
segera menghampiri di tangga rumah.
“Kalian
gapapa?” dengan wajah pusat pasi Ustadzah cemas menanyakan keadaan Kami.
“Ustadzaaaaah…” Kami memeluk beliau sambil
menahan tangis dan gelak tawa.
“Semoga jadi
wasilah, ya Ustadzah.” Sambungku dan diikuti anggukan kepala yang lainnya.
“Hahahah,
wasilah yang memudahkan Kita melompat lebih jauh mencapai target 30 Juz nanti.”
“Aamiin…”
Kami berseru meng-aminkan sambil tertawa.
***