Daftar Progam HAQIN

Kearifan Semesta Skenario-Nya


“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”

Tertulis dalam kitab Nya, aku seorang perempuan bernama Arrahma Ramadhyna Dennyka, lahir sebagai pemenang diantara ribuan pejuang yang gugur dalam kandungan sang ibu. Dan telah ditetapkan bahwa aku tumbuh berkembang bersama lika liku naungan skenarioNya yang aku sendiri tak mampu mengutiknya tanpa kehendak Nya. Aku yakin di tangan-Nya lah skenario ini bermula dan berakhir. Ini ceritaku, perjalanan singkat hidupku mengenal-Nya, agama-Nya dan juga kitab-Nya.

Aku lahir di Surabaya dan besar dilingkup keluarga yang sedikit mengenal agama. Jangankan untuk mengenal Al-Qur’an, membacanya pun aku merasa belum lancar. Sampai suatu ketika Allah manakdirkanku sebagai santri di Ponpes Madinatunnajah, Tangerang Selatan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan olehku.

Disana aku belajar sedikit demi sedikit mengenal-Nya dan wawasan ilmu islam dan kitab-Nya yang amat luas. Namun, merasa apa yang aku dapatkan disana kurang mendalam, ya mungkin karena ponpes modern yang tidak terlalu intens dengan pelajaran agama karena dibarengi dengan pelajaran umum, ekskul dll. Bahkan waktu dengan Al-Qur’an hanya ketika selesai shalat maghrib hingga shalat isya, itupun hanya beberapa kali dalam sepekan.

Dan seiring berjalannya waktu, aku merasa semakin jauh dengan Al-Qur’an. Sampai pada suatu hari aku shalat berjama’ah di masjid dan terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari sang Imam yang membuat hati ini merasa tenang dan tentram, tiba-tiba aku merasa ada yang jatuh dari pelupuk mata…”Mengapa aku menangis?”. Aku menyadari bahwa bacaan Al-Qur’anku tidak sebaik lantunan dari sang imam tadi, disitulah pengakuan rasa malu terhadap-Nya. Sejak saat itu mulailah terpupuk dalam benak ini untuk bisa dekat dengan Al-Qur’an.

Tak terasa waktu kelulusanku dari pasantren tinggal satu bulan, yang mana aku harus menentukan pilihan untuk melanjutkan pendidikanku. Namun, entah mengapa tak ada keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena hati ini hanya ingin dekat dengan Al-Qur’an

Sampai tiba hari dimana aku wisuda dan ditetapkan sebagai alumnus. Aku masih bingung harus melangkahkan kaki kemana, sedangkan kondisi saat itu ekonomi dan keharmonisan keluarga sedang di uji oleh-Nya. Jangankan terfikir untuk kuliah, untuk mendaftarpun aku tak punya biaya, yang bisa kulakukan hanya tawakal kepada-NYa “Ya Allah aku selalu berdoa kepada-Mu agar dimudahkan untuk dekat dengan Al-Qur’an, jika karena terkendala dengan materi, aku yakin Engkau Maha Kaya”. 

Semakin lama semakin banyak aku melihat teman-teman ku sudah mendaftar ke perguruan tinggi, namun aku selalu berusaha bersabar agar tidak menimbulkan rasa iri. Hingga suatu hari Bapak bilang “Nak, yang sabar ya, maafin Bapak yang belum bisa biayain kamu”, kata-kata Bapak membuat mata ini meneteskan air mata. Dan disaat itu Bapak menawarkan program karantina 6 bulan menghafal Al-Qur’an yang jika lulus tes maka akan mendapatkan beasiswa. Terbesit dalam hati “Bagaimana mungkin aku bisa lulus tes, sedangkan bacaan Al-Qur’anku masih belum baik”. Namun, Bapak tetap mendukung. Akhirnya aku putuskan untuk mengikuti tes seleksi. Seleksi pertama, Alhamdulillah aku dinyatakan lolos dan ternyata ditahap kedua, pupuslah harapanku karena aku dinyatakan tidak lolos tahap ke dua ini.

Namun, lagi-lagi Bapak tidak pernah putus asa dan meminta aku untuk mengikuti program reguler (berbayar). Kata Bapak “Nak kamu engga usah khawatir masalah biaya, rezeki Allah yang ngatur”. 
Kini tiba saatnya aku sudah menjadi seorang santri HAQIN. Aku adalah Santri pra karantina. Program Pra Karantina ini dikhususkan bagi santri reguler yang masih dalam perbaikkan bacaan Qur’annya. Di fase pra karantina ini, banyak ilmu tahsin yang aku dapati mulai dari cara pengucapan huruf yang baik dan benar, sifat-sifat huruf, dan hukum-hukum bacaan lainnya. Dan di fase ini pun aku bisa mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 8 kali.

Untuk memasuki fase selanjutnya yaitu Karantina, Kami (santri pra karantina) harus mengikuti ujian kenaikkan kelas yang terdiri dari ujian tulis dan ujian menghafal 1 satu halaman dengan durasi satu jam. Alhamdulillah tak lama kemudian hasil ujian kenaikkan kelas telah keluar, aku hanya berdoa “Ya Allah aku hanya menyerahkan segala keputusan  pada-Mu, karena aku sudah berusaha semampuku”, dan masyaAllah hal yang tak disangka-sangka benar-benar membuatku tersungkur memuji karunia-Nya. Ya, Allah meridhoi aku untuk melangkah ke tahap selanjutnya, aku semakin yakin bahwa ada campur tangan Allah disetiap perkara yang terjadi pada hamba-Nya.

Namun lagi-lagi Allah menguji siapa yang dikehendaki-Nya. Ya, hari itu adalah hari penuh dengan air mata suka dan duka, karena salah 1 satu diantara kami bertiga (santri pra karantina) ada yang Allah uji kembali kesabarannya dengan kabar ketidaklulusannya dalam ujian kenaikan kelas. Saat itu sempat bingung dan tidak percaya karena di antara kami bertiga, beliaulah yang bacaan Al-Qur’an paling baik. Ya, bagaimana pun ini sudah menjadi ketetapan-Nya. 

“…. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyeukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu, Allah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216)

Akupun amat bersyukur atas karunia-Nya yang meridhoiku untuk bisa masuk ke tahap karantina. Ya, ditahap ini aku berusaha agar tidak menyia-nyiakan momen yang begitu berharga bagiku. Tahap karantina ini terdiri dari tiga fase yaitu fase tilawah, ziyadah dan muroja’ah. Fase tilawah yaitu fase dimana kami setiap harinya tilawah tujuh halaman Al-Qur’an dengan pengulangan sebanyak empat puluh kali atau setara dengan empat belas juz setiap harinya.

Disinilah aku merasa begitu dekat dengan Al-Qur’an, dari bangun sampai tidur lagi selalu bersama Al-Qur’an.

Benar atas firman-Nya “Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan”.
Sampai akhirnya akupun bisa mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 40 empat puluh kali, suatu hal yang sangat berharga bagi diriku semoga Allah ridha dengan dengan semua usaha yang aku lakukan. Tiba saatnya aku memasuki fase ziyadah yaitu menghafalkan Al-Qur’an degan target 10 sepuluh halaman perhari. Suatu ketika ada yang bertanya kepada kami (Santri HAQIN) “Apa niat kalian dalam menghafalkan AlQuran?” Aku tak pernah tau niatku menghafalkan Al-Qur’an, karena selama ini yang aku harapkan hanyalah dekat dengan Al-Qur’an.

Sempat Bapak menasihatiku “Nak, niatkanlah ini hanya untuk Allah dan agama-Nya”. Namun, aku berharap setelah aku bisa mentadaburi dan menghafalkan, aku bisa mempersembahkan hafalan ini untuk-Nya dan juga untuk ke empat orang tuaku, agar menjadi setitik cahaya terang bagi keluargaku yang terkadang masih tertutupi oleh kabut nan lebat dan fatamorgana dunia yang fana.

Dan tanpa beliau yang tak pernah putus asa dalam mendukungku, aku takkan menjadi apa-apa. Ya beliau yang selama ini selalu menjadikan dirinya sebagai dua jiwa yang hanya memiliki satu raga yaitu Bapak. Raganya memang hanya seorang Ayah, namun jiwanya meliputi jiwa keibuan. Hal itu aku rasakan sejak aku berpisah dengan Ibu kandungku yang jauh di Surabaya. Walaupun dulu aku sempat kecewa dengan keputusan Bapak, tapi aku yakin pasti itu adalah keputusan yang terbaik.

Begitulah ketetapan-Nya atas diriku. Bahwasanya kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti, esok dan seterusnya, karena hanya Dialah yang Maha Tahu dan Maha Kuasa. Dengan jalan yang aku pilih, aku yakin ini pasti atas ridha dan campur tangan-Nya. Disinilah awal perjuanganku dengan Al-Qur’an.

“Hidup manusia itu laksana sebuah buku
Halaman depan, tanggal lahir
Halaman belakang, tanggal pulang
Tiap lembarannya, hari-hari hidup ini
Ada buku yang tebal, ada juga yang tipis
Ada yang menarik dibaca dan tidak sama sekali
Dan seburuk apapun halaman sebelumnya
Selalu tersedia halaman berikutnya yang baru
Putih bersih dan tiada cacat.”

Wallahu a’lam bishshowwab.

Arrahma Ramadhyna Dennyka, Al-Hafizhah