Daftar Progam HAQIN

Secercah Cahaya Di Kota Bandung

Ilustrasi

Seseorang tidak bisa memaksa untuk meminta kepada Sang Pencipta ingin menjadi apa yang ia inginkan. Namun, apa yang ditakdirkan itulah yang terbaik. Sama halnya dengan diriku, jika harus jujur ingin apapun yang ku inginkan itu terwujudkan, aku ingin terlahir dari keluarga yang berpendidikan, yang dijauhkan dari jeritan dan tangisan tentang masalah perekonomian, juga ingin sekolah yang tinggi tanpa pertimbangan.

Namun, itulah sebuah latar belakang yang dengan izin Allah akan mengantarkanku sebagai manusia yang ingin memulai perubahan dalam kehidupan, mewujudkan setiap harapan demi harapan orang-orang terdekat yang pandai mereka sembunyikan.

Akun HAQIN yang berinfokan pendaftaran calon Santri Hafizh Qur’an angkatan 4, dan melalui instagramlah yang membawaku bisa melangkah sejauh ini. Itupun karena program beasiswa yang membuatku berani untuk mencoba mendaftarkan diri.

Proses pendafataran mulai ku lakukan, tahap demi tahap penyeleksian ku lalui. Dan pada saat Aku mendaftar belum ada satu orangpun dari keluargaku yang mengetahuinya termasuk kedua orang tuaku. Bahkan mereka mengetahuinya saat Aku berbincang dengan Kakekku lewat telepon seluler dan menanyakan keinginanku perihal kuliah.
Kakek : “Bagaimana, Neng tahun ini jadi kuliahkan? Jadi kuliah dimana?”

Saat itu aku bingung harus menjawab apa? Bibirku kelu, aku terdiam seribu bahasa. Lalu sedetik kemudian ku paksakan mulutku untuk mengeluarkan suara.

Aku : “hmmm sepertinya tidak jadi kek, bagaimana bisa aku kuliah? Uang darimana? Lagipula sepertinya Bapak dan Mamah tidak mengizinkan.”

Sebenarnya Aku punya sebuah kesimpulan tentang hal ini, tak mungkin ada orang tua yang tak ingin melihat anaknya kuliah dan bahagia, tapi Aku tau pasti titik masalahnya ada pada kata “uang”. Lagi-lagi uang seperti menjadi alat penentu kehidupan setiap orang. Namun pada saat itu Kakek menguatkanku dan berkata

Kakek : “ Kakek selalu berharap dan berdoa kepada gusti Allah agar diberikan keturunan yang lebih baik pendidikannya dari Kakek. Neng, masalah rezeki dan yang lainnya, semua itu serahkan saja kepada gusti Allah”

Saat mendengar perkataan Kakek, tiba-tiba semangatku mulai berkobar. Aku seperti memiliki harapan untuk hidup lagi. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk memberitahu keluargaku tentang keputusanku mendaftar di salah satu lembaga Tahfizh dan mengharapkan doa restu dari seluruh keluarga menyertai keputusanku ini.

Pada awalnya kukira orang tuaku akan melarang, tapi betapa Allah Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya, orang tuaku justru mendukungku. Karena do’a dan dukungan mereka dan pastinya biiznillah, semua proses dan tahap-tahap seleksi kulalui dengan mudah hingga aku terpilih menjadi salah satu Santri di Hafizh Qur’an Indonesia (HAQIN).

Sekarang, Bandung menjadi salah satu kota yang kusinggahi dalam mengemban amanah terbesar yang Allah percayakan kepadaku sebagai orang yang Ia pilih menjadi Para Penjaga Kalam-Nya. Dan HAQIN telah mengubah seluruh rutinitasku, dimana dulunya tangan ini sering memegang HP tapi disini Al-Qur’an telah menggantikan posisi itu. Bahkan dari bangun tidur hingga tidur kembali semuanya tertata rapi dalam aturan Ma’had. Tentu saja, itu semua untuk kebaikan para Santri agar selalu bersama Al-Qur’an.

Disinilah dari berbagai pelosok Indonesia dipertemukan, Aceh, Medan, Jawa Tengah, Jawa Barat, hingga Sorong Papua. Kami berjuang bersama-sama menjadi Penjaga Kalam-Nya. Tidak mudah kami lalui, banyak perjuangan dan pengorbanan. Semuanya memiliki ujiannya masing-masing, begitu pun aku. Allah mengujiku dari awal fase Tilawah yaitu disaat Kami diwajibkan untuk Tilawah Al-Qur’an 7 halaman sebanyak 40x pengulangan setiap harinya.

Hari demi hari kulalui hingga suaraku serak dan sering kehabisan nafas di ayat-ayat yang memiliki mad yang lumayan banyak dan panjang. Bahkan aku sering harus memperbaiki tajwid dan makhroj, salah satunya makhroj Fa yang menjadi kelemahan bagi orang Sunda. Di fase ini juga Aku sering menyelamkan wajahku kedalam ember berisi air untuk menahan nafas, yaaa katanya sih bisa memanjangkan nafas. Alhamdulillah itu sedikit membantuku hingga akhir fase.

Perjuanganku dan Santri lainnya belum berhenti di fase ini, yang dinantikan siap dijalani yaitu fase Ziyadah. Di fase ini Kami harus menyetorkan hafalan Al-Qur’an minimal 10 halaman setiap harinya. Pada awal fase ini Kami ditantang menggunakan metode akselerasi, yaitu hari pertama dan kedua menghafal 10 halaman setiap harinya dan pada hari ketiga mentasmi’kan hafalan yang sudah disetorkan. Metode ini ditantang selama 2 minggu. Tapi pada hari keenam, Allah mulai mengujiku kembali, Aku dilanda futur, sefutur-futurnya.

Aku mulai kesusahan dalam menggabungkan ayat demi ayat, halaman demi halaman. Seharusnya pada hari itu Aku harus menyetorkan sebanyak 20 halaman, tapi aku hanya mampu menyetorkan 5 halaman saja bahkan belum terlalu lancar.

Setelah tantangan itu selesai, Kami semua diberikan pilihan oleh Ma’had untuk memilih level hafalan masing-masing. Level 3, yaitu metode akselerasi akan tetapi harus menggandeng hafalan dari awal hingga akhir pada hari tasmi’nya. Level 2, yaitu metode akselerasi seperti yang dijelaskan diawal. Level 1, yaitu metode dengan Ziyadah di awal sedangkan Muraja’ah serta tasmi’ diakhir setelah mengkhatamkan 30 juz atau Metode 972. Disini kuputuskan untuk memilih level 1.

Alhamdulillah, atas Kehendak Allah, Seorang Wulandari Nur’Aini telah Allah percayakan untuk menyetorkan 30 juz. Tepat pada hari Jum’at, 10 Januari 2020 jam 05.20 WIB, Aku menyetorkan 3 surat terakhir dalam Al-Qur’an. Setoranku lalui disertai dengan air mata kebahagiaan atas nikmat Allah yang begitu besar. Perasaanku disaat itu sungguh campur aduk, senang? Iyaa.. Sedih? Pasti.. Tak Karuan? Tentu.. Khawatir? Selalu..

Ya, Menjadi Hafizh/ah itu bukan sekedar menyetorkan hafalannya begitu saja, bukanlah ajang siapa yang paling cepat menyelesaikan hafalan. Namun, menjadi Hafizh/ah memiliki banyak amanah hingga akhir hayatnya. Allah melihat seberapa ia istiqomah dalam menjaga hafalan, seberapa ia setia terhadap muroja’ah, sebanyak apa ia bisa mengamalkannya, semampu apa ia berakhlak atasnya dan seberapa kuat niat nya. Itulah tantanganku dan para penghafal Al-qur’an lainnya harus ditempuh.

Yakinlah, berinteraksi dengan Al-Qur’an itu tidak ada yang sia-sia. Disini, karena Al-Qur’an lah Aku dipertemukan dengan HAQIN, serumah dengan para penghuni penjaga kalam-Nya, dan mendapatkan perhatian dari lembaga yang tiada hentinya. Disini Aku dan santri lainnya memiliki donatur yang dermawan, ustaz dan ummi yang tiada hentinya memikirkan yang terbaik untuk santri, ustazah dan ammah-ammah yang berjuang dengan ikhlas, tetangga dan lingkungan yang begitu peduli.

Diakhir tulisan ini, satu kalimat dariku tentang HAQIN.

“Jadi Santri HAQIN itu...
Ibadah Jalan,
Perut Kenyang,
Tetangga pada Dermawan,
Tiap Jum’at Banyak Kiriman
Jangan Khawatir Rizki Gak Kebagian
~Fabiayyi alaa-i robbikumaa tukadzibaan~
Terus, Masih Malas-Malasan Ngafalin Al-Qur’an ?
Itu sih Kebangetan dan Ketinggalan Zaman”

Wulandari Nur'aini, Al-Hafizhah