Menghafal Al-Qur’an adalah anugerah besar dari Allah. Namun mempertahankan hafalan tersebut justru menjadi perjuangan yang lebih panjang dan menantang. Banyak yang telah menyelesaikan hafalan 30 juz, namun tak sedikit pula yang kehilangannya karena abai dalam menjaganya.
Ustadz Abu Ammar Hafizhahullah menggambarkan hafalan seperti unta yang ditambatkan. Pangkalnya dapat, ujungnya hilang. Ketika ujungnya kembali, pangkalnya pun lepas. Maka, menjaga hafalan itu tidak cukup hanya sesekali muroja’ah, tapi harus menjadi aktivitas harian yang terjaga dengan disiplin tinggi.
1. Konsistensi Tilawah dan Muroja’ah
Bagi para penghafal yang telah tuntas 30 juz, standar minimal yang beliau tetapkan adalah 6 juz per hari. Ini bukan saran ringan—ini prinsip hidup yang sudah beliau praktikkan sendiri selama bertahun-tahun. Rinciannya bisa dibagi 3 juz untuk tilawah dan 3 juz untuk muroja’ah. Dan yang terpenting, dalam sekali duduk minimal harus menyelesaikan 3 juz tanpa putus.
Di awal perjalanan ini, hafalan bisa terasa hilang. Tapi jangan panik. Jika konsistensi dijaga, pada bulan berikutnya akan terlihat hasilnya. Hafalan akan kembali menguat. Lisan jadi terbiasa, hati pun makin terikat dengan Al-Qur’an. Itulah kekuatan istiqamah. Karena Mutqin tidak bisa diperoleh dengan metode kilat. Ia tumbuh pelan-pelan bersama kesabaran.
2. Jaga Fisik, Pola Hidup, dan Psikologis
Selama proses ziyadah, tidak dianjurkan untuk berpuasa karena tubuh memerlukan cukup cairan untuk menjaga konsentrasi dan stamina. Hindari juga konsumsi gula berlebihan, karena bisa mempercepat pelupaan.
Ustadz Abu Ammar juga menekankan pentingnya menjaga suasana hati. Perbanyak senyum. Hadirkan afirmasi positif kepada diri sendiri, cukup 3–5 kalimat yang diulang setiap hari. Afirmasi ini membantu menyelaraskan alam sadar dan bawah sadar, agar seluruh pikiran dan tindakan kita benar-benar mendukung hafalan. Tapi jangan terlalu banyak, karena bisa menimbulkan kebingungan dan justru membuat pikiran terpecah.
3. Hafalan yang Kuat Dimulai dari Hati yang Bersih
Salah satu nasihat paling mendalam dari Ustadz Abu Ammar adalah tentang keikhlasan. Ketika ditanya adakah amalan khusus untuk menjaga hafalan, beliau menjawab: "Kuncinya satu, yaitu ikhlas."
Ikhlas artinya menghafal semata-mata untuk Allah. Bukan karena ingin dipuji, bukan untuk terlihat saleh, bukan demi mengajar atau lomba. Ikhlas adalah landasan spiritual yang membuat hafalan itu bertahan dan menjadi cahaya dalam kehidupan.
Bersihkan hati dari segala penyakit. Imam Syafi’i pernah menasihati muridnya yang mengeluh hafalannya lemah: "Bersihkanlah hatimu, tinggalkan maksiat. Karena Al-Qur’an itu cahaya, dan cahaya tidak akan masuk ke hati yang kotor."
Dalam keikhlasan, ada ketenangan. Tidak mudah goyah ketika lupa, tidak mudah kecewa ketika diuji. Orang yang ikhlas akan terus muroja’ah meski tak dilihat orang. Ia akan tetap semangat menambah hafalan, meski tak ada yang memuji. Karena yang ia cari hanyalah ridha Allah.
Tilawah Hingga Hafal Tanpa Menghafal
Ustadz Abu Ammar sendiri adalah seorang yang menghafal Qur'an tanpa menghafal. Beliau mengalami pengalaman luar biasa. Pasca kecelakaan di tahun 1996, beliau mampu menuntaskan tilawah hingga khatam 500 kali dalam enam bulan. Hafalan pun melekat di luar kepala — titik, waqaf dan tanda baca pun terbayang jelas. Sebuah buah dari tilawah yang istiqamah.
Bahkan gurunya pernah berpesan: "Sebelum menikah, seorang penuntut ilmu harus sudah mengkhatamkan tilawah 300 kali." Proses ini pula yang kemudian membuka pengalaman ruhiyah luar biasa, hingga Allah izinkan beliau bermimpi bertemu Rasulullah.
Penutup
Menjaga hafalan adalah perjalanan panjang. Tapi dengan konsistensi, pola hidup sehat, afirmasi positif, dan terutama ikhlas karena Allah, hafalan itu tidak hanya akan kuat—tapi akan menjadi bagian dari hidup. Dan pada akhirnya, penghafal Qur’an sejati adalah mereka yang membawa hafalannya hingga akhir hayat.
Semoga kita termasuk di dalamnya. Wallahu a’lam.
MY-