Ibadah qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan terbaik di Hari Raya Idul Adha. Di balik daging dan darah yang mengalir, ada makna terdalam tentang mendekatkan diri pada Allah dan menyucikan jiwa.
Tahukah kamu, penyembelihan itu dalam istilah Arab disebut udhhiyyah, dari akar kata yang sama dengan Dhuha. Karena itulah waktu paling utama untuk menyembelih hewan qurban adalah sejak matahari sepenggalah naik—saat dhuha menjelang.
Namun, kita mengenalnya dengan nama qurban. Kata ini berasal dari “قربان”, yang bermakna mendekat. Maka orang yang berqurban sejatinya sedang menempuh jalan untuk mendekatkan diri secara istimewa kepada Allah.
Bukan Besar Hewan, Tapi Besarnya Perubahan
Qurban yang diterima bukan dinilai dari berat timbangan hewannya, tapi seberapa besar dampak spiritualnya. Kalau setelah qurban hubungan kita dengan Allah (hablum minallah) semakin kuat, dan hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas) membaik—itulah tanda qurban yang membawa berkah.
Sampai hal kecil seperti tidak memotong kuku dan rambut selama 10 hari pertama Dzulhijjah bagi yang berniat qurban—itu pun disunnahkan. Kenapa?
Dalam hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika kalian telah melihat hilal (tanda masuknya) Dzulhijjah, dan salah satu di antara kalian ingin berqurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai hewan qurbannya disembelih.”
(HR. Muslim no. 1977)
Menurut Ustadz Adi Hidayat, anjuran ini adalah bentuk penyucian diri total—bahkan sampai rambut dan kuku yang masih melekat menjadi saksi bahwa kita sedang mendekat dan bertobat kepada Allah. Ini bukan perkara haram, melainkan sunnah penuh makna.
Taqwa dan Nafsu: Mana yang Disembelih?
Orang yang berhaji melempar jumrah untuk melawan hawa nafsu. Kita yang tidak berhaji pun bisa melakukan hal serupa: dengan menyembelih hewan qurban, kita juga menyembelih sifat-sifat hewani dalam diri sendiri—keserakahan, kemarahan, egoisme, dan segala bentuk nafsu dunia.
Tak heran, kalimat yang diucapkan saat melempar jumrah dan menyembelih qurban sama:
“Bismillah, Allahu Akbar”
Lalu dilanjutkan dengan doa introspeksi:
“Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fataras samawati wal ardh…”
(Ku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi...)
Inilah inti qurban: evaluasi diri menuju perubahan sejati. Karena tujuan utamanya bukan hanya pahala, tapi nilai mabrur—menjadi pribadi yang lebih baik setelahnya.
Menuju Mabrur Meski Tak Berhaji
Yang berhaji menunggu puncaknya di Arafah pada 9 Dzulhijjah. Kita yang tidak berhaji, tetap punya kesempatan emas: berpuasa pada hari itu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa puasa Arafah menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.
Maka selama 1–9 Dzulhijjah, mari isi hari-hari kita dengan amalan baik: tilawah, dzikir, sedekah, puasa, dan refleksi diri. Karena walau tak berangkat ke tanah suci, kita bisa ikut meraih nilai mabrur—amal yang membawa perubahan nyata.
Tanda Qurban Diterima? Lihat Setelahnya
Qurban yang diterima akan tampak dari perubahan dalam hidup kita. Dua hari setelah Idul Adha, di hari Tasyrik—itulah waktunya bercermin:
Apakah kita lebih tenang ibadahnya? Lebih halus lisannya? Lebih ringan tangannya membantu?
Kalau iya, qurban kita bukan hanya diterima. Tapi telah membawa keberkahan dan transformasi dalam hidup.
Jika kamu sudah niat berqurban tahun ini, jangan hanya niatkan pahala. Niatkanlah untuk menjadi lebih dekat dengan Allah, lebih suci dari dosa, dan lebih baik dalam kehidupan.
Karena sejatinya, qurban yang paling utama…
adalah qurban atas diri sendiri.