Daftar Progam HAQIN

Kisah Inspirasi "Way Back home"

Ilustrasi Gambar

Semenjak adanya pandemi segala aktifitas yang dilakukan hanya berputar di itu itu saja. Yang biasa dilakukan hanya menhabiskan waktu bermain gawai. Hingga pada akhirnya sampai sudah merasa jenuh dan bosan. demotivasi, over procrastinate, streaming YouTube, scroll TikTok, marathon Netflix series, rewatch Harry Potter, hingga berandai-andai bersekolah di Hogwarts, bolak-balik meja makan, kamar, kamar mandi, balik lagi ke meja makan. Siklus seperti itu sudah menjamur selama beberapa bulan karena terpaksa terkurung karena adanya aturan pemerintah untuk “Isolasi Mandiri dan lockdown” sejak datangnya pandemi Covid-19. 

Siklus kegiatan tersebut yang menurutku akhirnya merasa kurang produktif perlahan-lahan memudar ketika orang tua ku membelikan gadget baru dari brand yang aku obsesikan untuk sekolah online. 25% ketidak ikhlasan adanya pandemi terkikis karena garis bibirku yang naik beberapa centimeter dan try to re-think bahwa pandemi ini ada berkahnya juga, ya salah satunya dapat gadget baru, hehe. 

Pada kenyataannya bahwa terlalu bersahabat dengan sosial media juga tidak selamanya memberikan efek negatif untukku, entah mengapa algoritma sosial mediaku seakan menyeretku untuk menjemput hidayah-Nya. Tontonan-tontonan yang seliweran seperti ceramah Ustadz Hanan Attaki di channel Pemuda Hijrah dan fyp tiktok menayangkan seorang muslimah berselendang "Hafizhah 30 Juz" yang sedang mencium kaki ibunya diiringi backsound "Ku putuskan satu impian, aku ingin jadi Hafizh Qur'an..." Membuatku tertegun, me-restart pikiran, and suddenly ask to myself apakah kehidupan yang ku jalani selama 18 tahun sudah  ber-value di hadapan Allah? Apakah aku sudah mengenal Allah dan kitabnya?  Apakah aku sudah menjadi hamba yang bertakwa?

Menginjak umur 17 tahun, Sophia yang suka sok sibuk menghadiri sweet seventeen party teman-teman SMA nya yang megah, bertanya tanya lagi, ada apa sih dengan umur 17 tahun ini? Apakah se-spesial itu dalam hidup mereka sampai menjadikan Isyana Sarasvati sebagai guest star di pesta ulang tahunnya? Apakah ada hal sakral lain selain bisa dapat KTP dan SIM? Pikiranku terus bergulat dengan argumentasi dan opini di dalamnya, hingga pikiranku mendukung salah satu opini ku yaitu, umur 17-19 tahun itu mungkin memang umur sakral, di dalam fase ini kita bisa meng-upgrade self development (perkembangan diri) sepuas puasnya. Tapi apakah hanya hal duniawi?

Keinginan besarku untuk meng-upgrade diri berawal di tahun 2021, si tahun roller coaster yang berdinamika. Kisah satu tahun ini mungkin bisa kujadikan satu novel yang masuk nominasi pemenang nobel sastra, bahkan bisa dipublikasikan di New York Times, wkwk tapi hanya mimpi sepertinya. Berkat hidayah-Nya melalui algoritma sosial media, titik start meng-upgrade diriku, aku perlahan lahan mulai memakai pakaian yang sesuai dengan syariat agamaku, mulai memakai ciput, rok, kerudung menutup dada, bahkan kaos kaki dan handsock. Susah? Jangan ditanya, sudah pasti sulit menyesuaikan diawalnya akan tetapi supaya istiqomah, katanya. Bahkan teman-teman ku shock nya bukan main ketika melihat outfit ku yang tadinya memakai kerudung jipon, ripped jeans, dan seragam yang press to body berubah menjadi syar’i.

– “Way Back Home” Preparation –

Opini ku yang menyebutkan bahwa umur 17-19 adalah umur sakral untuk self development ingin kuhabiskan untuk mencari makna dan nilai nilai hidup dunia dan akhirat. Algoritma TikTok yang menunjukkan video seorang hafidzah yang tengah menangis haru sambil mencium kaki ibunya, menggiring ku pada niat mempelajari, menghafal, dan menjadi penghafal Al-Qur’an karena rasanya tidak ingin menyia-nyiakan masa hidup di dunia dan ingin membahagiakan orang tua di akhirat. 

Sepertinya akan menjadi penyesalan terbesar jika niat ku tersebut gugur di tengah jalan ketika waktuku untuk menghadap kepada-Nya telah tiba, sedangkan niat menghafal Al-Qur’an belum juga terlaksana, tetapi malah terus mengejar urusan dunia. Kesakralan umur 17-19 tahun itu sangat menjadi acuan niat awal karena terbayangkan ketika nanti malaikat bertanya kepadaku saat aku akan kembali kepada-Nya.

“Apa yang kau lakukan untuk menghabiskan masa muda mu di dunia? Apakah untuk beribadah kepada Sang Pencipta?”. Sangat konyol jika dijawab pacaran, foya-foya, sekolah di Hogwarts (emang ga mungkin sih:)) dan hal duniawi lainnya. Akan lebih berkesan dan berkelas ketika kita menjawab menjadi orang yang bermanfaat, menghafal Al-Qur’an, berteman dengan orang-orang yang shalih dan shalihah. Jawaban-jawaban tersebut perlu dibuktikan dengan usaha yang dikerjakan selama di dunia, tidak bisa semudah menghafal jawaban seperti kisi-kisi ujian sejarah.

 – Allah has the best plan for us –

“Niat yang hanya niat” menghafal Al-Qur’an terkalahkan oleh tekad bulatku mempersiapkan diri untuk mengejar beasiswa undergraduate ke luar negeri. Mulai dari Turki, Jepang, hingga Negeri Ginseng, semuanya aku coba mendaftarkan dengan semaksimal mungkin. Menyusun portofolio fotografi dan karya seni arsitektur, belajar IELTS dan TOPIK, bimbel, menyusun essay yang membuat isi kepala ingin pecah mengurus dokumen untuk mendapatkan legalisasi dari Kedubes Korea Selatan, hingga mencari mentor khusus agar lebih focus mengejar satu beasiswa yang paling aku incar. Semua itu dilakukan dengan penuh harapan kepada-Nya dan semangat yang terus ter re-charge karena harapan dan mimpi yang sangat ingin dicapai.

Beasiswa yang sangat aku idam idamkan adalah beasiswa terakhir yang kucoba sebelum pada akhirnya memutuskan untuk mendaftar karantina tahfidz angkatan 9 di HAQIN. Kenikmatan beribadah, menyusun segala strategi jalur langit, selalu optimis kepada-Nya, hingga menyusun doa yang sistematis, semuanya ku lakukan dengan maksimal effort semampuku. Segala urusanku dalam prosedur beasiswa rasanya lancar dan dipermudah oleh Allah seperti jalan tol yang rintangannya hanya tikungan tajam saja, doa-doa setiap tahajudku langsung dikabulkan oleh-Nya. Terbayang sebesar apa optimisku kepada-Nya?

Melangkah sampai tahap interview dengan salah satu profesor di departemen yang Aku apply, harapan ku makin membludak ketika November 2021 Professor mengatakan, “See you in campus”. Satu minggu kemudian muncul notifikasi email bahwa aku tidak lolos tahap akhir setelah tahap wawancara. Berusaha untuk terus optimis, menikmati proses, dan feel okay dengan kegagalan itu sangat sangat sulit, berkali-kali aku mengatakan, “Ya Rabb, I can’t bear these things”. Jadi teringat kata kata mutiara yang dikatakan oleh presiden pertama Indonesia, hanya saja ini versi diriku, bermimpi setinggi langit, tetapi ketika jatuh, rasanya tidak berada diantara bintang-bintang. 

"Materi pengalaman diaduk aduk, modus eksistensi dari cogito ergo sum* dicoba, medium Bahasa dieksploitasi, imaji-imaji, metode, prosedur di jungkir balik, masih itu itu juga", ini adalah sedikit deskripsi untuk 2021 si tahun roller coaster ku.

*Cogito ergo sum adalah sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, seorang filsuf ternama dari Perancis. Artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada". Maksud daripada kalimat ini yakni membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang.

“Brain never switch off”, pikiran dalam otak ku yang tak henti beradu argumentasi memunculkan satu argumen, “Sampai kapan Kamu akan berlarut dalam ketidak tenangan, ketidak ikhlasan, dan kesedihan ini? Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, tenang, kan Allah aja udah cukup”. Lalu dibalas dengan argumen lainnya, “Bagaimana kalau lakukan niat menghafal Al-Qur’an mu di awal tahun? katanya mau mencari value hidup dihadapan Allah”. Setelah banyaknya argumen yang beradu di dalam pikiranku akhirnya argumentasi tersebut mencapai mufakat, “Oke, Bismillah cari pondok tahfidz, ga perlu yang 1 bulan, tanggung, oke 6 bulan cukup kali ya”.

Teringat ada kakak kelas SMA ku yang mondok tahfidz program karantina 6 bulan di Bandung, tepatnya daerah Padasuka yang hanya berjarak 1,2 km dari rumahku, Aku langsung menginterogasi Beliau mengenai pondok yang pernah disinggahinya itu, setelah tergambarkan beberapa hal dan didiskusikan dengan orang tua, Alhamdulillah akhirnya Aku memberanikan diri mendaftar program karantina tahfidz angkatan 9 di Hafizh Qur’an Indonesia pada bulan Februari 2022.

“Apa drop di depan Dunkin Donuts ya” “Oke” . Percakapan suami istri tersebut berakhir di seberang lobby Balubur Toserba sekitar pukul 10 pagi, diikuti turunnya Ibu dan anak perempuannya dari sebuah mobil berwarna silver.

“Pokoknya beli aja masing-masing 2 gamisnya, teteh kan ga punya gamis selain gamis lebaran”. Ke chaos-an mencari perlengkapan untuk pertama kalinya mondok benar benar menjadi hari yang sangat penat. Memang manusia sifatnya terburu buru, H-3 berangkat mondok, tapi gamis pun yang merupakan essential clothes for santriwati hanya punya 2 buah saja. 

H-2 pendaftaran ditutup, sedangkan aku baru mendaftar, Itupun belum termasuk kejar tayang untuk melaksanakan setiap prosedur seleksi santri baru yang salah satunya tasmi surah al Isra, akhirnya stuck hanya dapat 5 ayat saja, even just that much but Alhamdulillah, tho. 

– It seems difficult if you are not dare yourself to try it –

Tak pernah terbesit dalam pikiranku dahulu untuk berpakaian tertutup dan berkerudung panjang nan syar’i, yang ada dalam pikiranku membeli brand new style, menabung untuk beli sneakers Air Jordan, berburu sale perfume Victoria Secret, bercita-cita menghadiri Coachella, We The Fest, HITC, DWP, dan konser- konser hip hop besar lainnya.

Menjadikan HAQIN sebagai tempat baru untuk bernaungku sekarang,  berada dalam lingkungan Qur’ani, dan berkumpul dengan teman-teman shalihah bahkan setiap MasyaAllah sabarnya ketika menghargai keawamanku terhadap Al-Qur’an bahkan agama ku sendiri, InsyaAllah membuatku tidak akan menyesal untuk memilih jalan ini. Jalan yang diarahkan oleh-Nya dengan skenario penuh dinamika plot twist untuk hamba-Nya.

Setelah dihadapkan dua pilihan yang cukup berat bagiku, dengan tekad aku memutuskan untuk mondok tahfidz dibandingkan dengan terus berusaha mencoba mendaftar lagi kuliah ke luar negeri atau mengikuti harapan dan kecondongan orang tuaku yang lebih setuju kalau aku meneruskan kuliah di Indonesia dulu saja dan kegelisahanku yang terus ku dobrak hingga sampai di titik awal ku untuk memilih menghafal Al-Qur’an terlebih dahulu, meyakinkan ku bahwa Allah pasti akan menunjukan sesuatu yang jauh lebih baik daripada apa yang Aku sangka-sangka kepada-Nya.

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِين

***